Ingatlah ketika kerajaan Majapahit diserang Raden Patah
Prabu Brawijaya melarikan diri bersama Sabdo Palon
Kemudian Sunan Kalijaga berhasil menemukannya
Setelah berdebat maka Prabu Brawijaya masuk agama Islam.
Prabu Brawijaya melarikan diri bersama Sabdo Palon
Kemudian Sunan Kalijaga berhasil menemukannya
Setelah berdebat maka Prabu Brawijaya masuk agama Islam.
Serat Darmogandul merupakan serat yang
berisi cerita tentang dialog antara tokoh-tokoh pada jaman dulu kala di
Indonesia. Dalam serat ini pula didapatkan cerita berubahnya keyakinan
Prabu Brawijaya dari agama Buddha beralih ke agama Islam. Akan
tetapi karena serat Darmogandul dinilai banyak pihak sebagai naskah yang
bermuatan penghinaan terhadap Islam, maka serat tersebut dilarang
beredar. Larangan inilah yang membuat Serat Darmogandul susah
untuk diperoleh kembali. Kalaupun ada yang menemukan serat tersebut,
biasanya masih asli berbahasa jawa dan belum diterjemahkan ataupun sudah
diterjemahkan namun hanya potongan pendek saja. Akan tetapi alangkah
senangnya karena kini telah ditemukan terjemahan lengkap Serat
Darmogandul tersebut. Bagi anda yang ingin membacanya silahkan beranjak
ke http://www.indoforum.org/showthread.php?t=37753
Berikut saya cuplikkan sedikit yang ada dalam Serat Darmogandul pada
bagian dialog antara Sunan Kalijaga dengan Prabu Brawijaya dan Sabdo
Palon di bawah ini :
Ganti yang diceritakan, perjalanan Sunan Kalijaga dalam mencari Prabu Brawijaya, hanya diiringkan dua sahabat. Perjalanannya terlunta-lunta. Tiap desa dihampiri untuk mencari informasi. Perjalanan Sunan Kalijaga melewati pesisir timur Pulau Jawa, menurutkan bekas jalan-jalan yang dilalui Prabu Brawijaya.
Ganti yang diceritakan, perjalanan Sunan Kalijaga dalam mencari Prabu Brawijaya, hanya diiringkan dua sahabat. Perjalanannya terlunta-lunta. Tiap desa dihampiri untuk mencari informasi. Perjalanan Sunan Kalijaga melewati pesisir timur Pulau Jawa, menurutkan bekas jalan-jalan yang dilalui Prabu Brawijaya.
Sunan Kalijaga sang negosiator ulung
Perjalanan Prabu Brawijaya sampailah di Blambangan, Karena merasa lelah kemudian berhenti di pinggir mata air. Waktu itu pikiran Sang Prabu benar-benar gelap. Yang ada di hadapannya hanya abdi berdua, yaitu Nayagenggong dan Sabdapalon.
Kedua abdi tadi tidak pernah bercanda, dan memikirkan peristiwa yang
baru saja terjadi. Tidak lama kemudian Sunan Kalijaga berhasil
menjumpainya. Sunan Kalijaga bersujud menyembah di kaki Sang Prabu. Sang
Prabu kemudian bertanya kepada Sunan Kalijaga, “Sahid! Kamu datang ada
apa? Apa perlunya mengikuti aku?”
Sunan Kalijaga berkata, “Hamba diutus
putra Paduka, untuk mencari dan menghaturkan sembah sujud kepada Paduka
dimanapun bertemu. Beliau memohon ampun atas kekhilafannya, sampai
lancang berani merebut tahta Paduka, karena terlena oleh darah mudanya
yang tidak tahu tata krama ingin menduduki tahta memerintah negeri,
disembah para bupati. Sekarang putra Paduka sangat merasa bersalah.
Adapun ayahanda Raja Agung yang menaikkan dan memberi derajat Adipati di
Demak, tak mungkin bisa membalas kebajikan Paduka, Kini putra Paduka
ingat, bahwa Paduka lolos dari istana tidak karuan dimana tinggalnya.
Karena itu putra Paduka merasa pasti akan mendapat kutukan Tuhan. Karena
itulah hambah yang lemah ini diutus untuk mencari dimana Paduka berada.
Jika bertemu mohon kembali pulang ke Majapahit, tetaplah menjadi raja
seperti sedia kala, memangku mahligai istana dijunjung para punggawa,
menjadi pusaka dan pedoman yang dijunjung tinggi para anak cucu dan para
sanak keluarga, dihormati dan dimintai restu keselamatan semua yang di
bumi. Jika Paduka berkenan pulang, putra Paduka akan menyerahkan tahta
Paduka Raja. Putra Paduka menyerahkan hidup dan mati. Itu pun jika
Paduka berkenan. Putra Paduka hanya memohon ampunan Paduka atas
kekhilafan dan memohon tetap sebagai Adipati Demak saja. Adapun apabila
Paduka tidak berkenan memegang tahta lagi, Paduka inginkan beristirahat
dimana, menurut kesenangan Paduka, di gunung mana Paduka ingin tinggal,
putra Paduka memberi busana dan makanan untuk Paduka, tetapi memohon
pusaka Kraton di tanah Jawa, diminta dengan tulus.”
Sang Prabu Brawijaya bersabda, “Aku sudah
dengar kata-katamu, Sahid! Tetapi aku tidak gagas! Aku sudah muak
bicara dengan santri! Mereka bicara dengan mata tujuh, lamis semua, maka
blero matanya! Menunduk di muka tetapi memukul di belakang.
Kata-katanya hanya manis di bibir, batinnya meraup pasir ditaburkan ke
mata, agar buta mataku ini. Dulu-dulu aku beri hati, tapi balasannya
seperti kenyang buntut! Apa coba salahku? Mengapa negaraku dirusak tanpa
kesalahan? Tanpa adat dan tata cara manusia, mengajak perang tanpa
tantangan! Apakah mereka memakai tatanan babi, lupa dengan aturan
manusia yang utama!”
Setelah mendengar bersabda Sang Prabu
demikian, Sunan Kalijaga merasa sangat bersalah karena telah ikut
menyerang Majapahit. Ia menarik nafas dalam dan sangat menyesal. Namun
yang semua telah terjadi. Maka kemudian ia berkata lembut,
“Mudah-mudahan kemarahan Paduka kepada putra Paduka, menjadi jimat yang
dipegang erat, diikat dipucuk rambut, dimasukkan dalam ubun-ubun,
menambahi cahaya nubuwat yang bening, untuk keselamatan putra cucu
Paduka semua. Karena semua telah terjadi, apalagi yang dimohon lagi,
kecuali hanya ampunan Paduka. Sekarang paduka hendak pergi ke mana?”
Sang Prabu Brawijaya berkata, “Sekarang aku akan ke Pulau Bali, bertemu dengan yayi Prabu Dewa Agung di Kelungkung. Aku akan beri tahu tingkah si Patah, menyia-nyiakan orang tua tan
pa dosa, dan hendak kuminta menggalang para raja sekitar Jawa untuk mengambil kembali tahta Majapahit. Adipati Palembang akan kuberi tahu bahwa kedua anaknya sesampai di tanah Jawa yang aku angkat menjadi Bupati, tetapi tidak tahu aturan. Ia berani memusuhi ayah dan rajanya. Aku akan minta kerelaannya untuk aku bunuh kedua anaknya sekaligus, sebab pertama durhaka kepada ayah dan kedua kepada raja. Aku juga hendak memberitahu kepada Hongte di Cina, bahwa putrinya yang menjadi istriku punya anak laki-laki satu, tetapi tidak tahu jalan, berani durhaka kepada ayah raja. Ia juga kuminta kerelaan cucunya hendak aku bunuh, aku minta bantuan prajurit Cina untuk perang. Akan kuminta agar datang di negeri Bali. Apabila sudah siap semua prajurit, serta ingat kepada kebaikanku, dan punya belas kasih kepada orang tua ini, pasti akan datang di Bali siap dengan perlengkapan perang. Aku ajak menyerang tanah Jawa merebut istanaku. Biarlah terjadi perang besar ayah melawan anak. Aku tidak malu, karena aku tidak memulai kejahatan dan meninggalkan tata cara yang mulia.”
Sunan Kalijaga sangat prihatin. Ia
berkata dalam hati, “Tidak salah dengan dugaan Nyai Ageng Ampelgading,
bahwa Eyang Bungkuk masih gagah mengangkangi negara, tidak tahu diri,
kulit kisut punggung wungkuk. Jika beliau dibiarkan sampai menyeberang
ke Pulau Bali, pasti akan ada perang besar dan pasukan Demak pasti kalah
karena dalam posisi salah, memusuhi raja dan bapa, ketiga pemberi
anugerah, Sudah pasti orang jawa yang belum Islam akan membela raja tua,
bersiaga mengangkat senjata. Pasti akan kalah orang Islam tertumpas
dalam peperangan.”
Akhirnya Sunan Kalijaga berkata pelan,
“Aduh Gusti Prabu! Apabila Paduka nanti tiba di Bali, kemudian memanggil
para raja, pasti akan terjadi perang bear. Apakah tidak sayang Negeri
Jawa rusak. Sudah dapat dipastikan putra Paduka yang akan celaka,
kemudian Paduka bertahta kembali menjadi raja, tapi tidak lama kemudian
lengser keprabon. Tahta Jawa lalu diambil oleh bukan darah keturunan
Paduka. Jika terjadi demikian ibarat serigala berebut bangkai, yang
berkelahi terus berkelahi hingga tewas dan semua daging dimakan serigala
lainnya.”
“Ini semua kehendak Dewata Yang Maha
Lebih. Aku ini raja bintara, menepati sumpah sejati, tidak memakai dua
mata, hanya menepati satu kebenaran, menurut Hukum dan Undang-Undang
para leluhur. Seumpamanya si Patah menganggap aku sebagai bapaknya, lalu
ingin menjadi raja, diminta dengan baik-baik, istana tana Jawa ini akan
kuberikan dengan baik-baik pula. Aku sudah tua renta, sudah kenyang
menjadi raja, menerima menjadi pendeta bertafakur di gunung. Sedangkan
si Patah meng-aniaya kepadaku. Pastilah aku tidak rela tanah Jawa
dirajainya. Bagaimana pertanggungjawabanku kepada rakyatku di belakang
hari nanti?”
Mendengar kemarahan Sang Prabu yang tak
tertahankan lagi, Sunan Kalijaga merasa tidak bisa meredakan lagi, maka
kemudian beliau menyembah kaki Sang Prabu sambil menyerahkan kerisnya
dengan berkata, apabila Sang Prabu tidak bersedia mengikuti sarannya,
maka ia mohon agar dibunuh saja, karena akan malu mengetahui peristiwa
yang menjijikkan itu.
Sang Prabu melihat tingkah Sunan Kalijaga
yang demikian tadi, hatinya tersentuh juga. Sampai lama beliau tidak
berkata selalu mengambil nafas dalam-dalam dengan meneteskan air mata.
Berat sabdanya, “Sahid! Duduklah dahulu. Kupikirkan baik-baik,
kupertimbangkan saranmu, benar dan salahnya, baik dan buruknya, karena
aku khawatir apabila kata-katamu itu bohong saja. Ketahuilah Sahid!
Seumpama aku pulang ke Majapahit, si patah menghadap kepadaku, bencinya
tidak bisa sembuh karena punya ayah Buda kawak kafir kufur. Lain hari
lupa, aku kemudian ditangkap dikebiri, disuruh menunggu pintu belakang.
Pagi sore dibokongi sembahyang, apabila tidak tahu kemudian dicuci di
kolam digosok dengan ilalang kering.”
Sang Prabu mengeluh kepada Sunan
Kalijaga, “Coba pikirkanlah, Sahid! Alangkah sedih hatiku, orang sudah
tua-renta, lemah tidak berdaya koq akan direndam dalam air.” Sunan
Kalijaga memendam senyum dan berkata, “Mustahil jika demikian, besok
hamba yang tanggung, hamba yakin tidak akan tega putra Paduka
memperlakukan sia-sia kepada Paduka. Akan halnya masalah agama hanya
terserah sekehendak Paduka, namun lebih baik jika Paduka berkenan
berganti syariat rasul, dan mengucapkan asma Allah. Akan tetapi jika
Paduka tidak berkenan itu tidak masalah. Toh hanya soal agama. Pedoman
orang Islam itu syahadat, meskipun salat dingklak-dingkluk jika belum
paham syahadat itu juga tetap kafir namanya.”
PERDEBATAN TEOLOGIS PRABU BRAWIJAYA
Sang Prabu berkata, “Syahadat itu
seperti apa, aku koq belum tahu, coba ucapkan biar aku dengarkan “ Sunan
Kalijaga kemudian mengucapkan syahadat, asyhadu alla ilaaha ilallah, wa
asyhadu anna Muhammadar Rasuulullah, artinya aku bersaksi, tiada Tuhan
selain Allah, dan bersaksi bahwa Kanjeng Nabi Muhammad itu utusan Allah.
“
Sunan Kalijaga berkata kepada Sang Prabu,
“Manusia yang menyembah kepada angan-angan saja tapi tidak tahu
sifat-Nya maka ia tetap kafir, dan manusia yang menyembah kepada sesuatu
yang kelihatan mata, itu menyembah berhala namanya, maka manusia itu
perlu mengerti secara lahir dan batin. Manusia mengucap itu harus paham
kepada apa yang diucapkan. Adapun maksud Nabi Muhammad Rasulullah adalah
itu Muhammad itu makam kuburan. Jadi badan manusia itu tempatnya
sekalian rasa yang memuji badan sendiri, tidak memuji Muhammad di Arab.
Badan manusia itu bayangan Dzat Tuhan. Badan jasmani manusia adalah
letak rasa. Rasul adalah rasa kang nusuli. Rasa termasuk lesan, rasul
naik ke surga, lullah, luluh menjadi lembut. Disebut Rasulullah itu rasa
ala ganda salah. Diringkas menjadi satu Muhammad Rasulullah. Yang
pertama pengetahuan badan, kedua tahu makanan. Kewajiban manusia
menghayati rasa, rasa dan makanan menjadi sebutan Muhammad Rasulullah,
maka sembahyang yang berbunyi ushali itu artinya memahami asalnya. Ada
pun raga manusia itu asalnya dari ruh idhafi, ruh Muhamad Rasul, artinya
Rasul rasa, keluarnya rasa hidup, keluar dari badan yang terbuka,
karena asyhadu alla, jika tidak mengetahui artinya syahadat, tidak tahu
rukun Islam maka tidak akan mengerti awal kejadian.”
Sunan Kalijaga berkata
banyak-banyak sampai Prabu Brawijaya berkenan pindah Islam, setelah itu
minta potong rambut kepada Sunan Kalijaga, akan tetapi rambutnya tidak
mempan digunting. Sunan Kalijaga lantas berkata, Sang Prabu
dimohon Islam lahir batin, karena apabil hanya lahir saja, rambutnya
tidak mempan digunting. Sang Prabu kemudian berkata kalau sudah lahir
batin, maka rambutnya bisa dipotong.
Perdebatan dengan Sabdapalon dan Nayageggong
Sang Prabu setelah potong rambut kemudian
berkata kepada Sabdapalon dan Nayagenggong, “Kamu berdua kuberitahu
mulai hari ini aku meninggalkan agama Buddha dan memeluk agama Islam.
Aku sudah menyebut nama Allah yang sejati. Kalau kalian mau, kalian
berdua kuajak pindah agama rasul dan meninggalkan agama Buddha.”
Sabdapalon berkata dengan sedih, “Hamba ini Ratu Dang Hyang yang menjaga tanah Jawa, Siapa yang bertahta menjadi asuhan hamba.
Mulai dari leluhur Paduka dahulu, Sang Wiku Manumanasa, Sakutrem dan
Bambang Sakri, turun-temurun sampai sekarang. Hamba mengasuh penurun
raja-raja Jawa. Hamba jika ingin tidur sampai 200 tahun. Selama hamba
tidur selalu ada peperangan saudara musuh saudara, yang nakal membunuh
manusia bangsanya sendiri. Sampai sekarang umur hamba sudah 2000 lebih 3 tahun dalam mengasuh raja-raja Jawa,
tidak ada yang berubah agamanya, sejak pertama menempati agama Buddha,
Baru Paduka yang berani meninggalkan pedoman luhur Jawa. Jawa artinya
tahu. Mau menerima berarti Jawan. Kalau hanya ikut-ikutan, akan membuat
celaka muksa Paduka kelak,” Kata Wikutama yang kemudian disambut
halilintar bersahutan.
Prabu Brawijaya disindir oleh Dewata,
karena mau masuk agama Islam, yaitu dengan perwujudan keadaan di dunia
ditambah tiga hal: (1) rumput Jawan, (2) padi Randanunut, dan (3) padi
Mriyi.
Sang Prabu bertanya, “Bagaimana niatanmu,
mau apa tidak meninggalkan agama Buddha masuk agama Rasul, lalu
menyebut Nabi Muhammad Rasullalah dan nama Allah Yang Sejati?”
Sabdopalon berkata dengan sedih, “Paduka masuklah sendiri.
Hamba tidak tega melihat watak sia-sia, seperti manusia Arab itu.
Menginjak-injak hukum, menginjak-injak tatanan. Jika hamba pindah agama,
pasti akan celaka muksa hamba kelak. Yang mengatakan mulia itu kan
orang Arab dan orang Islam semua, memuji diri sendiri. Kalau hamba
mengatakan kurang ajar, memuji kebaikan tetangga mencelakai diri
sendiri. Hamba suka agama lama menyebut Dewa Yang Maha Lebih. Dunia itu
tubuh Dewata yang bersifat budi dan hawa, sudah menjadi kewajiban
manusia itu menurut budi kehendaknya, menjadi tuntas dan tidak
mengecewakan, jika menyebut Nabi Muhammad Rasulullah, artinya Muhammad
itu makam kubur, kubur rasa yang salah, hanya men-Tuhan-kan badan
jasmani, hanya mementingkan rasa enak, tidak ingat karma dibelakang.
Maka nama Muhammad adalah tempat kuburan sekalian rasa. Ruh idafi
artinya tubuh, jika sudah rusak kembali kepada asalnya lagi. Prabu
Brawijaya nanti akan pulang kemana. Adam itu sama dengan Hyang Ibrahim,
artinya kebrahen ketika hidupnya, tidak mendapatkan rasa yang benar.
Tetapi bangunnya rasa yang berwujud badan dinamai Muhammadun, tempat
kuruban rasa. Jasa budi menjadi sifat manusia. Jika diambil Yang Maha
Kuasa, tubuh Paduka sifatnya jadi dengan sendirinya. Orang tua tidak
membuat, maka dinamai anak, karena adanya dengan sendirinya, jadinya
atas suatu yang ghaib, atas kehendak Lata wal Hujwa, yang meliputi
wujud, wujudi sendiri, rusak-rusaknya sendiri, jika diambil oleh Yang
Maha Kuasa, hanya tinggal rasa dan amal yang Paduka bawa ke mana saja.
Jika nista menjadi setan yang menjaga suatu tempat. Hanya menunggui
daging basi yang sudah luluh menjadi tanah. Demikian tadi tidak ada
perlunya. Demikian itu karena kurang budi dan pengetahuannya. Ketika
hidupnya belum makan buah pohon pengetahuan dan buah pohon budi. Pilih
mati menjadi setan, menunggu batu mengharap-harap manusia mengirim
sajian dan selamatan. Kelak meninggalkan mujizat Rahmat memberi kutukan
kiamat kepada anak cucunya yang tinggal. Manusia mati tidak dalam aturan
raja yang sifatnya lahiriah. Sukma pisah dengan budi, jika tekadnya
baik akan menerima kemuliaan. Akan tetapi jika tekadnya buruk akan
menerima siksaan. Coba Paduka pikir kata hamba itu!”
Prabu berkata “Kembali kepada asalnya, asal Nur bali kepada Nur”.
Sabdapalon bertutur “Itu pengetahuan
manusia yang bingung, hidupnya merugi, tidak punya pengetahuan ingat,
belum menghayati buah pengetahuan dan budi, asal satu mendapat satu. Itu
bukan mati yang utama. Mati yang utama itu sewu satus telung puluh.
Artinya satus itu putus, telu itu tilas, puluh itu pulih, wujud kembali,
wujudnya rusak, tetapi yang rusak hanya yang berasal dari ruh idhafi
lapisan, bulan surup pasti dari mana asalnya mulai menjadi manusia.
Surup artinya sumurup purwa madya wasana, menepati kedudukan manusia.”
Sang Prabu menjawab, “Ciptaku menempel pada orang yang lebih.”
Sabdopalon berkata, “Itu manusia
tersesat, seperti kemladeyan menempel di pepohonan besar, tidak punya
kemuliaan sendiri hanya numpang. Itu bukan mati yang utama. Tapi matinya
manusia nista, sukanya hanya menempel, ikut-ikutan, tidak memiliki
sendiri, jika diusir kemudian gentayangan menjadi kuntilanak, kemudian
menempel kepada awal mulanya lagi.”
Sang Prabu berkata lagi, “Aku akan
kembali kepada yang suwung, kekosongan, ketika aku melum mewujud
apa-apa, demikianlah tujuan kematianku kelak.”
“Itu matinya manusia tidak berguna, tidak
punya iman dan ilmu, ketika hidupnya seperti hewan, hanya makan, minum,
dan tidur. Demikian itu hanya bisa gemuk kaya daging. Penting minum dan
kencing saja, hilang makna hidup dalam mati.”
Sang Prabu, “Aku menunggui tempat kubur, apabila sudah hancur luluh menjadi debu.”
Sabdopalon menyambung, “Itulah matinya
manusia bodoh, menjadi setan kuburan, menunggui daging di kuburan,
daging yang sudah luluh menjadi tanah, tidak mengerti berganti ruh
idhafi baru. Itulah manusia bodoh, ketahuliah. Terima kasih!”
Sang Prabu berkata, “Aku akan muksa dengan ragaku.”
Sabdopalon tersenyum, “Kalau orang Islam
terang tidak bisa muksa, tidak mampu meringkas makan badannya, gemuk
kebanyakan daging. Manusia mati muksa itu celaka, karena mati tetapi
tidak meninggalkan jasad. Tidak bersyahadat, tidak mati dan tidak hidup,
tidak bisa menjadi ruh idhafi baru, hanya menjadi gunungan demit.”
Sang Prabu, “Aku tidak punya kehendak apa-apa, tidak bisa memilih, terserah Yang Maha Kuasa.”
Sabdopalon, “Paduka meninggalkan sifat
tidak merasa sebagai titah yang terpuji, meninggalkan kewajiban sebagai
manusia. Manusia diwenangkan untuk menolak atau memilih. Jika sudah
menerima akan mati, sudah tidak perlu mencari ilmu kemuliaan mati.”
Sang Prabu, “Keinginanku kembali ke akhirat, masuk surga menghadap Yang Maha Kuasa.”
Sabdopalon berkata, “Akhirat, surga,
sudah Paduka kemana-mana, dunia manusia itu sudah menguasai alam kecil
dalam bear. Paduka akan pergi ke akhirat mana? Apa tidak tersesat?
Padahal akhirat itu artinya melarat, dimana-mana ada akhirat. Bila mau
hamba ingatkan, jangan sampai Paduka mendapat kemelaratan seperti dalam
pengadilan negara. Jika salah menjawabnya tentu dihukum, ditangkap,
dipaksa kerja berat dan tanpa menerima upah. Masuk akhirat Nusa Srenggi.
Nusa artinya manusia, sreng artinya berat sekali, enggi artinya kerja.
Jadi maknanya manusia dipaksa bekerja
untuk Ratu Nusa Srenggi. Apa tidak celaka, manusia hidup di dunia
demikian tadi, sekeluarganya hanya mendapat beras sekojong tanpa daging,
sambal, sayur. Itu perumpamaan akhirat yang kelihatan nyata. Jika
akhirat manusia mati malah lebih dari itu, Paduka jangan sampai pulang
ke akhirat, jangan sampai masuk ke surga, malah tersesat, banyak
binatang yang mengganggu, semua tidur berselimut tanah, hidupnya
berkerja dengan paksaan, tidak salah dipaksa.
Paduka jangan sampai menghadap Gusti
Allah, karena Gusti Allah itu tidak berwujud tidak berbentuk. Wujudnya
hanya asma, meliputi dunia dan akhirat, Paduka belum kenal, kenalnya
hanya seperti kenalnya cahaya bintang dan rembulan. Bertemunya cahaya
menyala menjadi satu, tidak pisah tidak kumpul, jauhnya tanpa batasan,
dekat tidak bertemu. Saya tidak tahan dekat apalagi Paduka, Kanjeng Nabi
Musa toh tidak tahan melihat Gusti Allah. Maka Allah tidak kelihatan,
hanya Dzatnya yang meliputi semua makhluk. Paduka bibit ruhani, bukan
jenis malaikat. Manusia raganya berasal dari nutfah, menghadap Hyang
Lata wal Hujwa. Jika sudah lama, minta yang baru, tidak bolak-balik.
Itulah mati hidup. Orang yang hidup adalah jika nafasnya masih berjalan,
hidup yang langgeng, tidak berubah tidak bergeser, yang mati hanya
raganya, tidak merasakan kenikmatan, maka bagi manusia Buda, jika
raganya sudah tua, sukmanya pun keluar minta ganti yang baik, melebihi
yang sudah tua. Nutfah jangan sampai berubah dari dunianya. Dunia
manusia itu langgeng, tidak berubah-ubah, yang berubah itu tempat rasa
dan raga yang berasal dari ruh idhafi.
Prabu Brawijaya itu tidak muda tidak tua,
tetapi langgeng berada di tengah dunianya, berjalan tidak berubah dari
tempatnya di gua hasrat cipta yang hening. Bawalah bekalmu, bekal untuk
makan raga. Apapun milik kita akan hilang, berkumpul dan berpisah.
Denyut jantung sebelah kiri adalah rasa, cipta letaknya di langit-langit
mulut. Itu akhir pengetahuan. Pengetahuan manusia beragama Buda. Ruh
berjalan lewat langit-langit mulut, berhenti di kerongkongan, keluar
lewat kemaluan, hanyut dalam lautan rahmat, kemudian masuk ke gua garbha
perempuan. Itulah jatuhnya nikmat di bumi rahmat. Di situ budi membuat
istana baitullah yang mulia, terjadi lewat sabda kun fayakun. Di tengah
rahim ibu itu takdir manusia ditentukan, rizkinya digariskan, umurnya
juga dipastikan, tidak bisa dirubah, seperti tertulis dalam Lauh
Mahfudz. Keberuntungan dan kematiannya tergantung pada nalar dan
pengetahuan, yang kurang ikhtiarnya akan kurang beruntung pula.
Awal mula Kiblat empat
Awal mula kiblat empat, yaitu timur
(Wetan) barat (Kulon) selatan(Kidul) dan utara (Lor) adalah demikian.
Wetan artinya wiwitan asal manusia mewujud; kulon artinya bapa kelonan;
kidul artinya istri didudul di tengah perutnya; lor artinya lahirnya
jabang bayi. Tanggal pertama purnama, tarik sekali tenunan sudah
selesai. Artinya pur: jumbuh, na: ana wujud; ma: madep kepada wujud.
Jumbuh itu artinya lengkap, serba ada, menguasai alam besar kecil,
tanggal manusia, lahir dari ibunya, bersama dengan saudaranya kakang
mbarep (kakak tertua) adi ragil (adik terkecil). Kakang mbarep itu
kawah, adi itu ari-ari. Saudara ghaib yang lahir bersamaan, menjaga
hidupnya selama matahari tetap terbit di dunia, berupa cahaya, isinya
ingat semuanya. Siang malam jangan khawatir kepada semua rupa, yang
ingat semuanya, surup, dan tanggalnya pun sudah jelas, waktu dulu,
sekarang atau besok, itu pengetahuan manusia Jawa yang beragama Buddha.
Raga itu diibaratkan perahu, sedangkan
sukma adalah orang yang ada di atas perahu tadi, yang menunjukkan
tujuannya. Jika perahunya berjalan salah arah, akhirnya perahu pecah,
manusia rebah. Maka harus bertujuan, senyampang perahu masih berjalan,
jika tidak bertujuan hidupnya, dan matinya tidak akan bisa sampai
tujuan, menepati kemanusiaannya. Jika perahu rusak maka akan pisah
dengan orangnya. Artinya sukma juga pisah dengan budi, itu namanya
syahadat, pisahnya kawula dengan Gusti. Sah artinya pisah dengan Dzat
Tuhan, jika sudah pisah raga dan sukma, budi kemudian berganti
baitullah, nafas memuji kepada Gusti.
Jika pisah sukma dan budi, maka manusia
harus yang waspada, ingatlah asal-usul manusia, dan wajib meminta kepada
Tuhan baitullah yang baru, yang lebih baik dari yang lama. Raga manusia
itu namanya baitullah itu perahu buatan Allah, terjadi dari sabda kun
fayakun. Jika perahu manusia Jawa bisa berganti baitullah lagi yang
lebih baik, perahu orang Islam hidupnya tinggal rasa, perahunya sudah
hancur. Jika sukma itu mati di alam dunia kosong, tidak ada manusia.
Manusia hidup di dunia dari muda sampai tua. Meskipun sukma manusia,
tetapi jika tekadnya melenceng, matinya tersesat menjadi kuwuk, meskipun
sukmanya hewan, tetapi bisa menjelma menjadi manusia.
Ketika Batara Wisnu bertahta di Medang
Kasapta, binatang hutan dan makhluk halus dicipta menjadi manusia,
menjadi rakyat Sang Raja. Ketika Eyang Paduka Prabu Palasara bertahta di
Gajahoya, binatang hutan dan makhluk halus juga dicipta menjadi
manusia. Maka bau manusia satu dan yang lainnya berbeda-beda, baunya
seperti ketika masih menjadi hewan. Serat Tapak Hyang menyebut
Sastrajendra Hayuningrat, terjadi dari sabda kun, dan menyebut jituok
artinya hanya puji tok.
Dewa yang membuat cahaya bersinar
meliputi badan. Cahaya artinya incengan aneng cengelmu. Jiling itu puji
eling kepada Gusti. Punuk artinya panakna. Timbangan artinya salang.
Pundak itu panduk, hidup di dunia mencari pengetahuan dengan buah kuldi,
jika beroleh buah kuldi banyak, beruntungnya kaya daging, apabila
beroleh buah pengetahuan banyak, bisa untuk bekal hidup, hidup langgeng
yang tidak bisa mati. Tepak artinya tepa-tapa-nira, Walikat, walikaning
urip. Ula-ula, ulatana, laleren gegermu kang nggligir. Sungsum artinya
sungsungen. Labung, waktu Dewa menyambung umur, alam manusia itu
sampungan, ingat hidup mati.
Lempeng kiwa tengen artinya tekad yang
lahir batin, purwa benar dan salah, baik dan buruk. Mata artinya
lihatlah batin satu, yang lurus kiblatmu, keblat utara benar satu.
Tengen artinya tengenen kang terang, di dunia hanya sekedar memakai
raga, tidak membuat tidak memakai. Kiwa artinya, raga iki isi hawa
kekajengan, tidak wenang mengukuhi mati. Demikian itu bunyi serat tadi.
Jika Paduka mencela, siapa yang membuat raga? Siapa yang memberi nama?
Hanya Lata wal Hujwa, jika Paduka mencaci, Paduka tetap kafir, cela mati
Paduka, tidak percaya kepada takdir Gusti, dan murtad kepada leluhur
Jawa semua, menempel pada besi, kayu batu, menjadi iblis menunggu tanah.
Jika Paduka tidak bisa membaca sasmita yang ada di badan manusia, mati
Paduka tersesat seperti kuwuk. Adapun jika bisa membaca sasmita yang ada
pada raga tadi, dari manusia menjadi manusia. Disebut dalam Serat
Anbiya, Kanjeng Nabi Musa waktu dahulu manusia yang mati di kubur,
kemudian bangun lagi, hidupnya ganti ruh baru, ganti tempat baru.
Tuhan yang Sejati
Jika Paduka memeluk agama Islam, manusia
Jawa tentu kemudian Islam semua. Badan halus hamba sudah tercakup dan
manunggal menjadi tunggal, lahir batin, jadi tinggal kehendak hamba
saja. Adam atau wujud bisa sama, jika saya ingin mewujud, itulah wujud
hamba, kehendak Adam, bisa hilang seketika. Bisa mewujud dan bisa
menghilang seketika. Raga hamba itu sifat Dewa, badan hamba seluruhnya
punya nama sendiri-sendiri. Coba Paduka tunjuk, badan Sabdapalon. Semua
sudah jelas, jelas sampai tidak kelihatan Sabdopalon, tinggal asma
meliputi badan, tidak muda tidak tua, tidak mati tidak hidup. Hidupnya
meliputi dalam matinya. Adapun matinya meliputi dalam hidupnya, langgeng
selamanya.”
Sang Prabu bertanya, “Di mana Tuhan yang Sejati?”
Sabdopalon berkata, “ Tidak jauh tidak
dekat, Paduka bayangannya. Paduka wujud sifat suksma. Sejati tunggal
budi, hawa, dan badan. Tiga-tiganya itu satu, tidak terpisah, tetapi
juga tidak berkumpul. Paduka itu raja mulia tenti tidak akan khilaf
kepada kata-kata hamba ini.”
“Apa kamu tidak mau masuk agama Islam?” tanya Prabu
Sabdopalon berkata dengan sedih, “Ikut agama lama, kepada agama baru tidak! Kenapa Paduka berganti agama tidak bertanya hamba? Apakah Paduka lupa nama hamba, Sabdapalon?
Sabda artinya kata-kata, Palon kayu pengancing kandang. Naya artinya
pandangan, Genggong artinya langgeng tidak berubah. Jadi bicara hamba itu, bisa untuk pedoman orang tanah Jawa, langgeng selamanya.”
“Bagaimana ini, aku sudah terlanjur masuk
agama Islam, sudah disaksikan Sahid, aku tidak boleh kembali kepada
agama Buddha lagi, aku malu apabila ditertawakan bumi langit.”
“Iya sudah, silahkan Paduka jalani sendiri, hamba tidak ikut-ikutan.”
Sunan Kalijaga kemudian berkata
kepada Sang Prabu, yang isinya jangan memikirkan yang tidak-tidak,
karena agama Islam itu sangat mulia. Ia akan menciptakan air yang di
sumber sebagai bukti, lihat bagaimana baunya. Jika air tadi
bisa berbau wangi, itu pertanda bahwa Sang
Prabu sudah mantap kepada
agama Rasul, tetapi apabila baunya tidak wangi, itu pertanda jika Sang
Prabu masih berpikir Buddha.
Sunan Kalijaga kemudian mengheningkan
cipta. Seketika air sumber menjadi berbau wangi. Sunan Kalijaga berkata
kepada Sang Prabu, seperti yang sudah dikatakan, bahwa Sang Prabu nyata
sudah mantap kepada agama Rasul, karena air sumber baunya wangi.
Sabdopalon berkata kepada Sang Prabu, “Itu kesaktian apa? Kesaktian kencing hamba kemarin sore dipamerkan kepada hamba.
Seperti anak-anak, jika hamba melawan kencing hamba sendiri. Paduka
dijerumuskan, hendak menjadi jawan, suka menurut ikut-ikutan, tanpa guna
hamba asuh. Hamba wirang kepada bumi langit, malu mengasuh manusia
tolol, hamba hendak mencari asuhan yang satu mata. Hamba menyesal telah
mengasuh Paduka. Jika hamba mau mengeluarkan kesaktian, air kencing
hamba, kentut sekali saja, sudah wangi, Jika paduka tidak
percaya, yang disebut pedoman Jawa, yang bernama Manik Maya itu hamba,
yang membuat kawah air panas di atas Gunung Mahameru itu semua hamba, Adikku Batara Guru hanya mengizinkan saja. Pada waktu dahulu tanah Jawa gonjang-ganjing, besarnya api di bawah tanah. Gunung-gunung hamba kentuti.
Puncaknya pun kemudian berlubang, apinya banyak yang keluar, maka tanah
Jawa kemudian tidak bergoyang, maka gunung-gunung tinggi puncaknya,
keluar apinya serta ada kawahnya, berisi air panas dan air tawar. Itu
hamba yang membuat. Semua tadi atas kehendak Lata wal Hujwa, yang
membuat bumi dan langit. Apa cacadnya agama Buddha, manusia bisa memohon
sendiri kepada Yang Maha Kuasa. Sungguh jika sudah berganti agama
Islam, meninggalkan agama Buddha, keturunan Paduka akan celaka, Jawa
tinggal Jawan, artinya hilang, suka ikut bangsa lain. Besok tentu
diperintah oleh orang Jawa yang mengerti.
Coba Paduka saksikan, bulan depan bulan
tidak kelihatan, biji mati tidak tumbuh, ditolak oleh Dewa. Walaupun
tumbuh kecil saja, hanya untuk makanan burung, padi seperti kerikil,
karena paduka yang salah, suka menyembah batu. Paduka saksikan besok
tanah Jawa berubah udaranya, tambah panas jarang hujan. Berkurang hasil
bumi, banyak manusia suka menipu. Berani bertindak nista dan suka
bersumpah, hujan salah musim, membuat bingung para petani. Sejak hari
ini hujan sudah berkurang, sebagai hukuman banyak manusia berganti
agama. Besok apabila sudah bertaubat, ingat kepada agama Buddha lagi,
dan kembali mau makan buah pengetahuan, Dewa kemudian memaafkan, hujan
kembali seperti jaman Buddha.”
Sang Prabu mendengar kata-kata Sabdapalon
dalam batin merasa sangat menyesal karena telah memeluk agama Islam dan
meninggalkan agama Buddha, Lama beliau tidak berkata. Kemudian ia
menjelaskan bahwa masuknya agama Islam itu karena terpikat kata putri
Cempa, yang mengatakan bahwa orang agama Islam itu kelak apabila mati,
masuk surga yang melebihi surganya orang kafir.
Sabdapalon berkata sambil meludah, “Sejak
jaman kuno, bila laki-laki menurut perempuan, pasti sengsara, karena
perempuan itu utamanya untuk wadah, tidak berwewenang memulai kehendak.”
Sabdapalon banyak-banyak mencaci Sang Prabu.
“Kamu cela sudah tanpa guna, karena sudah
terlanjur, sekarang hanya kamu kutanya, masihkah tetapkah tekadmu? Aku
masuk agama Islam, sudah disaksikan oleh si Sahid, sudah tidak bisa
kembali kepada Buddha lagi.”
Sabdapalon berkata bahwa dirinya akan
memisahkan diri dengan beliau. Ketika ditanya perginya akan ke mana? Ia
menjawab tidak pergi, tetapi tidak berada di situ, hanya menepati yang namanya Semar, artinya meliputi sekalian wujud, anglela kalingan padang.
Sang Prabu bersumpah, besok apabila ada
orang Jawa tua, berpengetahuan, yaitulah yang akan diasuh Sabdapalon.
Orang Jawa akan diajari tahu benar salah. Sang Prabu hendak merangkul
Sabdapalon dan Nayagenggong, tetapi kedua orang tersebut musnah.
Sang Prabu kemudian menyesal dan
meneteskan air mata. Kemudian berkata kepada Sunan Kalijaga,”Besok
Negara Blambangan gantilah nama dengan Negara Banyuwangi agar menjadi
pertanda kembalinya Sabdapalon ke tanah Jawa membawa asuhannya. Adapun
kini Sabdopalon masih dalam alam Ghaib.”
Demikian cuplikan Serat Darmogandul yang saya ambil dari http://www.indoforum.org/showthread.php?t=37753
0 komentar:
Posting Komentar